Ucapan terima kasih

Selamat datang di blog saya, saya adalah pemilik blog ini,.. setidaknya saya berterima kasih kepada anda dan kepada allah yang masih memberikan kesehatan sehingga saya masih aktif di dalam blog sehingga mampu menuliskan apa yang ada di dalam pikiran yang nanti'nya saya utarakan kedalam Blog ini,... silakan melanjutkan Membaca,. Tidak diwajibkan bagi anda yang tidak punya,.. sebelum membaca blog saya siapkan samsu+kopi+cemilan+cepuluh hehehe,.. silakan membaca.

Terima kasih salam Psycho™.

Kamis, 04 Oktober 2012

Nikahi Aku Bukan Pacari Aku

“Aku mencintaimu, sungguh-sungguh jatuh cinta kepadamu.” Aku.
“Kalau kau memang mencintaiku, kenapa kau mengajakku pacaran?” Kamu.
“Hah,” aku kaget. “Bukankah karena aku mencintaimu maka karena itulah aku ingin menjadikanmu pacarku?”
“Aku tahu. Aku bukan orang bodoh.” Jawabmu santai. “Jika kau mencintaiku, kenapa menginginkanku melakukan hal yang tak berguna untuk hidupku?”
“Hal yang tidak berguna, bukankah pacaran merupakan satu jalan untuk mencapai kesaling-mengenalan antara aku dan kau?”
“Aku tidak sependapat denganmu. Maafkan aku.”
“Tidak apa-apa.”
“Apa kau masih ingin menjadikanku pacarmu?”
“Iya.” Jawabku. “aku tidak akan menyerah.”
“Kalau begitu, sampai kapanpun aku tidak akan mau menerimamu. Karena kau hanya ingin menjadikanku lampiasan nafsumu.” Aku tercengang dan diam.
“Tapi aku mencintaimu.”
“Tidak, aku tidak percaya kau mencintaiku. Kita sudah dewasa, sudah bisa membedakan mana yang baik dan tidak. Aku tidak ingin menghabiskan sisa hidupku dengan sia-sia. Hidup ini serius dan pasti akan ada pertanggungjawabannya.”
“Akan aku buktikan kepadamu.” Aku serius.
“Akan kau buktikan dengan apa. Dengan menungguku sampai aku mau? Ah basi. Banyak orang melakukannya begitu, dan banyak pula perempuan yang berhasil dibodohi. Sayangnya aku tidak sama dengan kebanyakan perempuan lain. Kau tidak akan berhasil.”
“Lalu dengan apa aku membuktikannya?” Tanyaku setengh marah.
“Hey. Biasa sajalah, tak perlu dengan nada tinggi begitu. Serius kau ingin membuktikannya?”
“Iya.”
“Datanglah kepada kedua orangtuaku dan minta ijinlah kepada mereka untuk menikahiku. Bukan memacariku. Sanggup?”
“Baiklah. Aku sanggup.” Jawabku dengan yakin. Aku lalu pergi meninggalkannya setelah mengucap maaf dan terimakasih.
Setelah beberapa bulan sampai aku merasa benar-benar sanggup dan yakin lalu berani, aku datang ke rumahmu untuk bertemu dengan orangtuamu. Namun aku hanya sampai depan pagar rumahmu. Lalu pulang kembali setelah melihatmu tengah berdua dengan seorang lelaki dan sedang hamil. Mungkin itu suamimu, pikirku.
Ternyata aku terlambat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar